KPK VS DPR
Komisi Pemberatasan Korupsi VS Dewan Perwakilan Rakyat
KPK (KOMISI PEMBRANTASAN KORUPSI )
Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat ini KPK dipimpin bersama oleh 4 orang wakil ketuanya, yakni Chandra Marta Hamzah, Bibit Samad Rianto, Mochammad Jasin, dan Hayono Umar, setelah Perpu Plt. KPK ditolak oleh DPR. Pada 25 November, M. Busyro Muqoddas terpilih menjadi ketua KPK setelah melalui proses pemungutan suara oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
KPK mempunyai ketentuan / gratifikasi yang merupakan dasar hukum yang di pegang KPK dalam menjalankan tugasnya . Ketentuan itu berisi tentang :
Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
- Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
- Pengecualian
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) :
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan yang mengatur Gratifikasi adalah:
Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK
Penjelasan aturan Hukum
Pasal 12 UU No. 20/2001
Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar:
Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar:
- pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
- pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Sanksi
Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
DPR (DEWAN PERWAKILAN RAKYAT )
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau sering disebut Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR-RI atau DPR) adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.
DPR mempunyai tugas dan wewenang yang telah ditetapkan negara yaitu ,sbb :
Tugas dan wewenang DPR antara lain:
- Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
- Membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang
- Menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah serta membahas membahas rancangan undang-undang tersebut bersama Presiden dan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden
- Membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden
- Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama
- Membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden
- Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN
- Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama
- Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang
- Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi
- Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain
- Memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD
- Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh BPK
- Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota KY
- Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden
- Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden
- Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara
- Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain
- Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat
- Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam undang-undang
DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan DPR tersebut. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat yang melanggar ketentuan tersebut dikenakan panggilan paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal panggilan paksa tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 (lima belas) hari sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal pejabat yang disandera habis masa jabatannya atau berhenti dari jabatannya, yang bersangkutan dilepas dari penyanderaan demi hukum.
Kedua Intansi pemerintah ini seharusnya saling berkerja sama dalam melaksanakan amanat yang dititipkan oleh masyarakat ,
namun apa yang terjadi ?
akhir" ini terdengar berita yang sangat memalukan bagi pemerintah ,yaitu kedua intansi pemerintah ini malah berseteru.
Apa penyebabnya ?
Perseteruan KPK dan DPR terjadi pada saat Rapat Konsultasi antara DPR dengan KPK, Polri, dan Kejakgung pada 3 Oktober lalu. Dalam forum tersebut terlihat betapa DPR demikian reaktif dan emosional mengebiri KPK dengan berbagai pertanyaan dan argumen yang menyudutkan KPK. Bahkan anggota Komisi III DPR, Fahri Hamzah dengan lantang menyatakan dan sekaligus mewacanakan pembubaran KPK karena menurutnya KPK tidak bisa lagi menjalankan fungsinya secara optimal dan masih tebang pilih.
Sikap reaktif dan emosional DPR ini muncul setelah KPK memanggil jajaran pimpinan Banggar DPR untuk dimintai keterangan sebagai saksi dalam kaitannya kasus dugaan korupsi di Kemenakertrans dan Kemenpora. Pemanggilan tersebut memang beralasan dan sangat relevan mengingat tugas dan fungsi yang melekat pada pimpinan Banggar DPR. Di sini KPK menengarai ada keterkaitannya antara Banggar DPR dengan kasus penyuapan di dua lembaga tersebut. Kecurigaan ini diperoleh berdasarkankan pengakuan para tersangka kasus yang menyebutkan ada keterlibatan dengan orang-orang di Banggar DPR
Sebenarnya sudah lama menjadi rahasia umum bahwa Banggar DPR menjadi ‘sarang perampok’ dana APBN. Kenyataan ini bisa kita lihat dan kita dengar dari berbagai kalangan pengamat, LSM, bahkan dari pengakuan para korban mafia anggaran di Banggar DPR itu sendiri yang pernah ditayangkan Metro TV beberapa waktu lalu. Jadi sulitlah dipungkiri kalau Banggar DPR bersih dari mafia dan perampok uang rakyat ( APBN ).
Jadi wajar kalau DPR sepertinya kebakaran jenggot dan gusar manakala KPK hendak memeriksa pimpinan Banggar karena itu secara tak langsung sama saja hendak menguliti borok-borok yang tersembunyi di DPR, artinya spread effect-nya dahsyat dan luas sekali. Bisa-bisa banyak orang penting atau sejumlah parpol terkait dengan penyimpangan di Banggar DPR. Dan publik sebenarnya sudah sejak lama mahfum sekali bahwasanya Banggar DPR itu menjadi ‘tampah raksasa’ untuk bancakan dana APBN. Kenyataan tersebut diperkuat dengan fenomena rekening gendut para anggota DPR yang secara akal sehat tentu menimbulkan tanda tanya besar dikalangan umum. Yang heboh lagi adalah PPATK telah menemukan sejumlah transaksi mencurigakan direkening para anggota Banggar dan itu akan ditindaklanjuti oleh KPK untuk membongkar permainan mafia anggaran dalam menikmati ‘ Bancakan Tumpeng APBN ’ di Banggar DPR-RI.
Bahkan ada joke di kalangan driver di DPR-RI, ‘ Kalau anda ingin lihat mobil-mobil super mewah dan mutakhir, datanglah ke Senayan. Anda tinggal menghitung saja ‘. Maka senayan menjadi ajang pameran prestisius Legislatif untuk menunjukkan kelasnya masing-masing dari perspektif sekularisme. Salahkah anggota DPR kaya ? Tidak. Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana cara mereka memperolehnya. Halal atau haram ? , legal atau illegal ?, Maling atau Ngrampok uang rakyat nggak ? Dan kalau pun diperiksa KPK pasti mereka akan jawab halal, legal, dan nggak maling uang rakyat bahkan mereka pun berani sumpah dengan menyebut nama Tuhan. Apalagi belum ditemukan bukti materiel atau fakta hukumnya. Wajarlah karena hukum duniawi memang demikian, tapi satu hal yang mungkin terlupakan yakni ada hukuman atau sanksi di luar hukum duniawi yang tetap akan menimpa mereka para penghisap darah rakyat, baik di dunia maupun di akherat nanti.
Kembali ke perseteruan KPK dan DPR, keduanya saling merasa bahwa mereka telah berada di koridor dan jalur yang benar dalam melaksanakan tugas masing-masing. Tapi DPR punya pendapat lain bahwa KPK sudah seperti teroris karena telah mengancam kenyamanan anggota DPR. Hal tersebut disampaikan Benny K. Harman, salah satu pimpinan Komisi III DPR. Dengan kata lain DPR mengganggap KPK telah melampaui batas kewenangan atau arogan sebagai lembaga superbodi bahkan Fahri Hamzah menyindir KPK nggak professional hanya bermodalkan popularitas belaka. Pedas betul kritikan para anggota dewan tersebut, tapi Ketua KPK Busyro Muqodas dengan santai dan diplomatis menanggapinya dengan berseloroh; “ Silahkan saja KPK dibubarkan tapi ya harus mengikuti prosedur hukumnya “.
Peneliti hukum ICW, Donal Fariz punya pendapat lain, bahwasanya yang justeru melakukan teror adalah DPR itu sendiri karena mereka panik jika KPK terus merangsek memasuki wilayah pro justisia dan itu memang dibenarkan oleh undang-undang dan KUHAP, akan banyak pihak DPR yang berpotensi atau bahkan memang terlibat langsung dengan skandal korupsi, mereka jadi ketakutan terendus dan tercongkok oleh KPK. “ . . Yang harus diwaspadai saat ini adalah para politisi korup sedang bergerilya untuk menyebar teror guna melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Dan rapat konsultasi dengan DPR baru-baru ini merupakan salah satu bentuk teror tersebut “, kata Donal (Kompas, 8/10 ).
Memang secara obyektif harus diakui KPK belum bisa memberikan hasil yang memuaskan publik secara luas mengingat adanya beberapa kasus besar yang belum bisa tuntas ditanganinya seperti ; mafia pajak, century gate, nazaruddin gate, dll. Publik menilai KPK masih tebang pilih karena baru berani mencongkok para koruptor kelas teri sementara yang the big fish tak berani menyentuhnya atau hanya sekedar cosmetic action untuk menenangkan publik belaka. Namun demikian bukan berarti KPK-nya harus dibubarkan, hanya perlu pembenahan sistem dan orang-orang KPK yang tidak kapabel dan kredibel wajib diganti.
Perseteruan antara KPK dengan DPR ini setidaknya memberikan hikmah yang nyata bahwasanya lembaga KPK yang dibentuk oleh DPR itu sendiri sebagai lembaga khusus pemberantas korupsi, dengan pertimbangan waktu itu kepolisian dan Kejakgung masih diragukan kapasitas dan kredibilitasnya dalam memberantas korupsi. Tapi kini KPK malah menjadi bumerang bagi DPR yang melahirkannya. Kenapa demikian, karena di dalam DPR itu malah banyak bercokol para koruptor yang notabene harus diberantas oleh KPK itu sendiri. Jadi, ya senjata makan tuan dong !??
0 komentar:
Posting Komentar